Kang Jariman

 

KANG JARIMAN

Moch. Syaechu Nasirudin, Bojonegoro, Jawa Timur.

Serentetan seremonial sedang berlangsung, tapi belum ada kaki beranjak yang menandakan bahwa puncak acara belum dimulai apalagi acaranya sudah selesai.

“Saya teman sebangku Jariman di Sekolah Tingkat Menengah, yang dulu selalu duduk di bagian belakang,” Gatot Santoso meyampaikan testimoni di atas podium.

“Selama tiga tahun kami berteman, tidak pernah sekalipun saya melihat Jariman ke Kantin Sekolah, baik pada jam istirahat maupun pulang sekolah, alasanya tidak punya uang saku, mungkin sampai lulus sekolah, Jariman tidak pernah tahu arah jalan ke kantin,” lanjutnya yang disambut tawa pengunjung.

Hadirin dari beberapa kalangan yang berjubel di ruang auditorium, mulai hening penuh arti mendengar perjalanan hidup Jariman kecil, yang menurut ceritera Gatot hanya mempunyai satu buku untuk semua mata pelajaran, namun kemampuanya dalam pelajaran Matematika, IPA, Fisika, Bahasa Inggris, lebih-lebih pelajaran agama selalu mendapat nilai terbaik.

“Selain menguasai hampir semua mata pelajaran, Jariman juga pandai bermain sepak bola, saya berpendapat bahwa Jariman merupakan sosok pemberani, sebab saat itu semua yang bermain bola memakai sepatu, sedang Jariman hanya ‘nyeker’ atau tidak bersepatu, yang berarti tidak takut kakinya diinjak oleh kawan maupun lawan.” Gatot meneruskan kisahnya.

Kali ini Gatot agak tersendat mengingat kisah masa lalu, keringat dinginya mulai keluar sebagai gambaran beratnya beban yang akan tersampaikan, semua yang hadir benar-benar dibawa oleh suasana haru, Gatot masih mengisahkan persahabatan yang berlanjut ketika meneruskan belajar di Sekoah Lanjutan Tingat Atas (SLTA), dan kondisi Jariman sama sekali belum ada perubahan, pakaian dan penampilanya tetap lusuh, sering menahan lapar, dan entah apalagi kata yang cocok untuk menggambarkan Jariman.

 “Menginjak kelas tiga SMA ayah Jariman meninggal dunia, kala itu Jariman sungguh membuat keputuasan yang teramat berat dengan berhenti sekolah, Jariman yang mempunyai jumlah saudara 17 tidak mungkin menggantungkan hidup dari keluarga, sehingga ada tekanan batin yang kuat untuk mampu membiyayai kehidupanya sendiri,” sambil mengusap keringat di dahi, Gatot mencoba sekuat tenaga melanjutkan kisahnya.

“Untuk memenuhi tekad terus belajar tersebut, Jariman memilih tinggal di Pondok Pesantren, itupun dengan menjadi abdi dalem (ikut membantu di rumah Kiyai) hanya sekedar memenuhi kebutuhan makan, bahkan beberapa keterangan yang saya dapat dari salah seorang teman, Jariman juga menjadi tukang masak santri-santri lain, dan tidak jarang Jaringan memakan sisa makanan yang beasal intip atau kerak nasi.” Suasana semakin hening mendengarkan penuturan Gatot yang polos.

Gatot melanjutkan bahwa hubunganya sejak saat itu terputus, Gatot yang sudah lulus SLTA berusaha mencari jejak Jariman, tapi hanya memperoleh infomasi bahwa teman karibnya sudah pindah dari pondok pesantren satu ke Posantren lain yang alamatnya tidak diketahui secara jelas.

Dua puluh lima tahun kemudian, Gatot dipertemukan Allah dengan Jariman; pertemuan yang tanpa disengaja itupun diteruskan saling silaturrochim. Ketika Gatot ke rumah Jariman, betapa terkejut mengetahui bahwa Jariman sudah menyelesaikan program study S-2, bahkan disekeliling rumah berdiri bangunan megah yang dihuni oleh santri dari beberapa wilayah, lebih hebat lagi, ternyata sebagian santri justru pendidikanya ditanggung oleh Jariman.

“Hadirin yang terhormat, saya minta maaf jika testimoni saya terlalu panjang, sebab saya tahu bahwa kesempatan seperti ini hanya sekali seumur hidup saya.” Suara serak Gatot disambut tawa hadirin.

“Selain itu, saya sangat bangga dengan sahabat Jariman, yang dulu rambutnya berantakan, bajunya tidak pernah tersentuh setlika, sekarang terlihat berbeda, yang dulu tidak tahu arah jalan ke kantin sekolah, sekarang sudah memiliki lebih sepuluh kantin sekolah.” Kali ini suara Gatot lebih bersemangat.

“Lebih bangga lagi, ketika Jariman mampu merubah status nama santrinya Kang Jariman menjadi Kiyai Jariman yang mempunyai ribuan santri, kalau saat ini saya diminta bersaksi, maka apa yang saya katakan adalah benar adanya, termasuk dulu Jariman pernah putus sekolah, namun tekatnya yang sangat kuat hingga mampu menyelesaikan program study S-3, dan menghantarkannya memperoleh anugrah guru besar atau Profesor.” Tepuk tangan dan tawa hadirin menyambut suara Gatot.

Semenatara Jariman yang duduk di arah bersebrangan dengan memakai toga hitam kebesaran hanya tersenyum kecil, disebelah kanan dan belakangnya terdapat 61 orang anggota senat yang juga menggunakan baju toga hitam kebesaran, bedanya, baju jariman belum ada selendang gordon (kalung wisuda), sedang yang lain sudah mempunyai gordon dengan berbagai bentuk dan warna, sebagai simbul kemampuan disiplin keilmuan yang dimilikinya.

“Akhirnya, perkenankan saya mengucapkan selamat, rasanya saat ini saya tidak patut jika hanya memanggil Jariman saja, namun lebih tepat saya ucapkan Selamat kepada sahabat saya Prof. Dr. KH. Jariman, M.Pd, sungguh merupakan pribadi dengan paket lengkap dan sangat istimewa, sebagi intelektual yang religius dan nasionalis, jejak kegigihanya harus ditiru oleh semua generasi muda saat ini.” Gatot mengakhiri testimoninya, setelah mengucapkan salam, Gatot turun podium diiringi tepuk tangan sangat meriah.

Semua mata hadirin masih tertuju pada langkah kaki Gatot, yang berhenti sejenak untuk membungkukkan kepala sebagai tanda hormat, di depan semua anggota Senat dalam sidang terbuka salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa Tmur, dalam acara pengukuhan Kang Jariman menjadi Guru Besar bidang ilmu pendidikan.

Sidang terbuka kali ini memang tergolong istimewa, sebab selain menempati auditorium dengan kapasitas cukup luas, juga dihadiri oleh berbagai golongan yang datang dari beberapa daerah sebagi tamu kehormatan, mulai Mahasiswa, guru, tokoh-tokoh nasional sampai pada birokrat tingkat pusat.

Kali ini, giliran Kang Jariman diminta menyampaikan orasi ilmiah, sambutan tepuk tangan hadirin menyertai gerakan kaki Kang Jariman yang mengarah ke Podium; ada diantara mereka yang meneriakkan “Allahumma sholli ala Muhammad,” yang dijawab serentak “Shollu alaih,” oleh hampir semua yang hadir.

Badan Kang Jariman tidak terlalu tinggi, hingga beberapa diantara mereka yang duduk di belakang, menyempatkan berdiri untuk memperjelas pandanganya memperhatikan langkah Kang Jariman, wajahnya yang sudah berkerut menandakan bahwa usianya sudah tidak lagi dibilang muda, tapi wajah itu seolah memancarkan cahaya, melambangkan pribadi sederhana dan selalu pasrah kepada sang Pencipta.

Kang Jariman menuturkan, “Tuhan akan meninggikan derajat kepada orang yang mempunyai ilmu, bukan orang yang mempunyai ijazah, oleh karena itu saya bertekad, dimanapun dan kapanpun, saya akan mencari ilmu.” Tepuk tangan mengapresiasi ucapan Kang Jariman diawal sambutanya. 

Dalam orasi ilmiyah, secara keseluruhan memaparkan bagaimana model pendidikan di Indonesia yang idial menghadapi problematika masyarakat masa akan datang, mengingat masa sekarang berada pada posisi kurang menguntungkan, dan belum mampu menjawab kebutuhan pangsa pasar dunia kerja. Belum lagi dekadensi moral generasi muda yang mengalihkan prilaku maupun pola pikir, dan mengakibatkan permasalahan krisis kepribadian bangsa. 

“Hadirin yang terhormat, Tujuan pendidikan adalah mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, sehingga mampu meningkatkan sejahteraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen harus bertanggung jawab dengan menanamkan keimanan, ketakwaan dan akhlakul karimah, agar terjadi keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ruhaniyah dan jasmaniyah,” tambahnya.

“Bagi generasi penerus bangsa, jika ingin menempatkan kesejahteraan sebagai tujuan negara, maka kata kuncinya adalah tidak boleh malas apalagi berputus asa, dan jangan ada ucapan tidak bisa, sebab kamu bisa dan pasti bisa, ini sekaligus menjadi prinsip, yang menghantarkan saya ke podium ini,” Tangan kanan Kang Jariman mengepal penuh semangat, memberikan motivasi sekaligus mengakhiri orasi ilmiyahnya.

Sejenak setelah Kang Jariman duduk di tempat semula, pembawa acara meneruskan “Prosesi Penyematan Gordon, oleh Rektor selaku ketua Senat.” Katanya.

Sayup-sayup lagu Hymne guru diperdengarkan, Kang Jariman dan Ketua Senat mengambil tempat yang disediakan, keduanya saling berhadapan, sebentar kemudian muncul dua orang pembawa baki berhias sedemikian rupa yang berisi gordon. Sang Rektor menerima gordon dan segera mengalungkanya ke leher Kang Jariman.

Semuanya berjalan begitu singkat, tanpa komando atau bentuk aba-aba lain, tepuk tangan semua hadirin menggema, mengaburkan syair hymne guru yang masih berkumandang, Sang Rektor menjabat tangan sekaligus merangkul Kang Jariman sebagai ucapan selamat. 

Acara diteruskan sampai selesai, dan pemberian ucapan selamat pada Kang Jariman dibatasi hanya undangan tertentu saja, mengingat begitu banyak hadirin yang juga menginginkan berjabat tangan. Kang Jariman yang didampingi oleh istri sibuk melayani tamu, sedang alunan sholawat Nabi menyertai acara salam salaman.

Di tengah-tengah antrian tersebut, ada sosok yang sudah tua, berjalan memakai tongkat, berpakaian serba putih seputih rambutnya. Kang Jariman melihat setengah tidak percaya, namun setelah kurang dari lima meter dari pandangan, Kang Jariman meninggalkan tamunya untuk menghampiri orang tersebut.

“Yai,!” agak berseru Kang Jariman berlari kecil, mencium tangan tamu istmewanya sambil membungkuk bentuk takdzim.

“Selamat ya Prof. Dr. KH. Jariman, M.Pd.” Sapanya, sambil mengangkat bahu Kang Jariman dan memeluknya.

“Tidak Yai, jangan panggil saya seperti itu, saya tetap Jariman, sebab tanpa Yai, saya tidak mungkin menjadi seperti ini,” pelan-pelan air matanya keluar dalam pelukan sang Kiyai.

Antrian hadirin melihat adegan Sang Profesor berpelukan dangan Sang Kiyai dengan penuh ekspresi, ada diantara mereka yang sempat mengabadikan, dan merekapun turut menyalami Kiyai yang dipapah oleh Kang Jariman untuk duduk mendampinginya, namun Kiyai menolak, dan memilih segera pulang. Dengan sigap, Kang Jariman memanggil sopir dan meminta mengantarkan pulang ke kediamnya.

“Jangan pulang nggih, istirahat dulu di rumah, nanti saya menyusul,” pintanya.

“Ya Prof.” Jawab Sang Kiyai.

“Janganlah Yai, saya lebih senang jika Yai tetap memanggil saya dengan Jariman, sebab sampai kapanpun saya masih berharap dianggap santrinya Kyai.” Kang jariman buru-buru menyergah.

Sang Kiyai hanya tersenyum untuk terus berlalu, raut wajah Kang Jariman berubah penuh semangat dengan kehadiran sosok paling berpengaruh dalam hidupnya, sifatnya tetap merendah, meski kariernya mencapai puncak. Sambil menyalami tamu, pandangannya sesekali menatap pada sosok yang semakin menjauh, dan dulu memberikan predikat tertinggi bagi dirinya dengan sebutan Kang Jariman, yang ternyata sebutan itu tetap diabadikan sepanjang masa.

___________________________________________________________

Moch. Syaechu Nasirudin,

Lahir di Tuban, Januari 1969, Riwayat Pendidikan : Lulus MI Raudlatut Tholibin, Tanggir, Singgahan, Tuban tahun 1980, Lulus MTs Fillial di Lajo Kidul, Singgahan, Tuban, tahun 1983, Lulus MAN Lamongan Tahun 1986, dan selesai kuliah tahun 1991 di Universitas Islam Malang Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Administrasi Negara. Sekarang dipercaya sebagai Kepala MI Nahdlatul Mujtama’ Tembeling, Kasiman, Bojonegoro, dan staf pengajar di MTs Plus Al Hadi Padangan, Bojonegoro dan masih aktif dalam organisasi sosial keagamaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SURAT UNTUK PU

KHOUL

Pancasila