BAPAK

 


BAPAK

Oleh : Kang Khasan

Bapak, beberapa Kamis pekan kemarin, anakmu bertemu salah satu murid tingkat dasar, bercerita tentang pelajaran yang Bapak ajarkan, Matematika, IPA sampai pada pelajaran Kesenian, termasuk nyanyian : Allah maha Esa, Allah maha kuasa, yang memberikan kita, telinga dan mata, akal dan pikiran, pemberian Allah. 

Lagu itu sekarang dinyanyikan untuk cucu-cucunya sebagai pengantar tidur, menurutnya lagu tersebut mengajarkan bentuk syukur pada Alah dan menunjukkan keagungan sang Kholiq dalam memberikan kesempurnaan anggota tubuh berikut akal fikiran untuk berbuat baik.

Murid yang akrab dipanggil Mbah Gup, masih ingat ucapan dan gerakan bapak saat mengajar, walaupun usianya sudah mendekati kepala tujuh, namun rasa kebersamaan menjadi murid sangatlah kuat, sehingga banyak nasehat Bapak yang dipegang teguh dalam perjalanan hidupnya.

Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba datang segerombolan orang membawa tumpeng untuk diserahkan pada Mbah Gup.

"Mbah, ini syukuran saya bersama keluarga" kata pembawa tumpeng.

"Mohon di doakan mbah, semoga kami sekeluarga dimudahkan segala urusan" tambahnya sambil memasukan amplop yang isinya entah apa di saku mbah Gup.

"Aamiin, Nggih mas" jawab Mbah Gub yang ternyata statusnya sebagai penjaga makam.

Mbah Gup beserta masyarakat setempat sama sekali tidak pernah mempersoalkan kebiasaan demikian, apalagi sampai memusyrik-musyrikan, yang mbah Gup fahami adalah mengapresiasikan bentuk syukur boleh dimana saja, termasuk di makam seperti yang dilakoni pembawa tumpeng ini.

Beberapa detik kemudian mereka mencari tempat berkumpul mengelilingi tumpeng, sayapun diminta menyertai. Selesai mbah Gup berkomat-kamit membacakan doa, salah satu diantara mereka membuka tumpeng, kami bertujuh menikmati masakan sangat sederhana berupa nasi liwet, ayam kampung panggang dengan bumbu seadanya dan sambal kelapa yang khas, dibungkus daun pisang.

Hati saya tersenyum, teringat masa-masa kecil dahulu, waktu pelaksanan manganan - sedekah bumi, saya dan beberapa teman sering usil menghadang beberapa anak yang membawa tumpeng untuk mengambil ingkungnya - ayam panggangnya atau jika tidak, saya ambil ingkung itu di tempat panitia sedekah bumi menyimpan, karuan saja mereka marah, mendapati ingkung berkurang atau bahkan hilang. 

Usai acara, rombongan pembawa tumpeng berpamitan, mbah Gup, saya,  dan satu peziarah lain bernama Kang Lan meneruskan pembicaraan yang sempat terputus, saya mengeluarkan rokok kretek bersama korek api, bungkusnya warna kuning kesukaan saya. 

Kami mengobrol tentang Bapak, sesekali diselingi gelak tawa mengenang semuanya, ada murid yang sering terlambat datang ke sekolah, ada yang menjengkelkan selalu tidur di kelas, ada pula diantara mereka yang kesulitan menerima pelajaran, dan ceritera-ceritera lain senada.

Bapak, kami mengobrol di dekat pusara Bapak, meskipun tidak nampak di depan mata, kami merasa bapak turut bergabung dalam obrolan kami, atau mungkin ikut tersenyum melihat kami mengenang semuanya. 

“Guru sekarang kok sepertinya berbeda dengan yang dulu ya” kata Mbah Gup tiba-tiba setelah menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Kenapa mbah?” tanya saya kaget.

“Dulu Guru itu benar-benar dapat diguru dan ditiru, baik perkataan maupun perbuatanya dapat dijadikan contoh murid-muridnya” jawab mbah Gup.

“Sekarag ini banyak guru yang di demo, bahkan dilaporkan polisi, ini salah gurunya atau muridnya San?” sambil menatap wajah saya, mbah Gup bertanya.

“Tapi murid sekarang juga berbeda dengan murid zaman saya, kalau dulu guru menjewer, murid bisa menerima, tapi sekarang kalau ada guru menjewer, muridnya lapor pada orang tuanya” belum juga saya menjawab, mbah Gup sudah berpendapat.

“Bagi orang tua yang bisa menerima, tentu nggak jadi masalah, namun bagi orang tua yang tidak bisa menerima, akan mengambil tindakan melabrak guru, bahkan sampai masuk lapor ke polisi, jadi salah apanya San?” kembali mbah Gup bertanya.

Saya tidak segera menjawab, pikiran saya melayang mengingat beberapa kejadian di media yang memberitakan banyak kasus tentang guru; ada sebagian diantara kejadian itu kebenaranya berpihak pada guru, ada pula diantaranya memang akibat prilaku guru yang kurang tepat menangani kasus siswa.

“La menurut jenengan, salahnya di mana mbah?” Kang Lan yang dari tadi memilih diam justru balik bertanya.

“Lo, ditanya kok malah bertanya to” mbah Gup belum bisa menerima pertanyaan Kang Lan.

“Gini lo San, Khasan dan kamu Kang Lan. semangat ngajar Bapakmu itu luar biasa, kasih sayangnya pada murid menyamai kasih sayang pada anak-anaknya, jadi kami muridnya menganggap beliau seperti orang tua sendiri.”

Saya hanya tersenyum membanggakan Bapak, sesaat terdengar suara adzan magrib dari arah barat, kami terdiam dan akhirnya sepakat saling berpamitan hingga pertanyaan mbah Gup belum sempat terpecahkan.

Saya beranjak meninggalkan lokasi makam menaiki motor, sepanjang perjalanan  pulang saya membayangkan wajah bapak menyampaikan mata pelajaran sebagaimana yang diceritakan mbah Gup, apalagi saat melewati madrasah tempat Bapak mengajar yang sekarang tampak megah, padahal waktu itu bangunanya kurang terurus.

Sesampai di rumah, saya menghampiri ibu yang beberapa tahun ini lebih banyak berdiam diri di kamar, sekedar bersalaman dan mengajak jamaah sholat magrib; usia tuanya memperlambat gerakanya, pendengaranyapun sudah jauh berkurang hingga kadang harus menggunakan alat bantu.

Saya bertindak sebagai imam sholat diikuti beberapa anggota keluarga, tanpa sadar setelah sholat saya bersandar di tembok sebelah selatan, sama persis seperti dulu bapak bersandar setelah sholat, sambil menundukkan kepala dalam-dalam menserahkan diri pada sang maha Pencipta.

Bapak, di ruangan ini bapak mendoakan putra putrimu agar dikemudian hari menjadi anak berbakti, sholeh sholehah, berguna bagi nusa dan bangsa, tapi sampai saat ini saya merasa belum mampu memenuhi harapanmu, untuk berbakti saja belum sempat, apalagi sekarang sudah disibukkan dengan permasalahan-permasalahan duniawi.

Bapak, rumah ini belum berubah, masih sama seperti Bapak masih hidup, saya yakin saat-saat tertentu Bapak singgah, sebab disini banyak ukiran sejarah perjuangan permintaan ataupun tuntutan anak-anakmu, dan sekuat tenaga dengan melupakan ruang, waktu ataupun harga diri, Bapak mencoba memenuhinya tanpa keluk kesah bahkan sampai ajal menjemput, sedikitpun tidak terdengar ratapan kesakitan.

Di tempat ini pula, kasih sayangmu tercurahkan untuk mendidik dan membesarkan putra-putri yang sekarang sudah termakan usia; saya tidak tahu apakah cucu-cucumu kelak akan seperti putra putrimu, yang dengan sekuat tenaga berusaha memunculkan pribadi sesuai harapanmu, namun kami benar-benar berharap, bahwa mereka, anak-anak kami yang juga cucu-cucu Bapak mampu menjadi penerus sujud sebagai bekal bertemu denganmu.

Bapak, sebagian diantara anak-anakmu ada yang meneruskan profesimu sebagai guru, tapi saya tidak tahu, apakah mereka mampu menjadi guru sepertimu, sebab rukhul jihad kami sudah banyak tergerus kepentingan, ikhlas kami terbeli oleh tuntutan kebutuhan, jati diri kami luntur, tergadaikan oleh khayalan kepuasan nafsu tanpa ada ujung pangkal.

Bapak, saya yakin seyakinnya bahwa sekarang Bapak sedang damai damai saja di sisi Allah s.w.t, jika boleh kami memohon, sampaikanlah pada sang maha kuasa agar hidup kami selalu mendapat keberkahan, dengan tetap memperoleh iman, islam, dan ikhsan, agar kelak mampu menemuimu dalam keadaan khusnul khotimah.

Aamiin.


Bojonegoro, 17 Nopember 2022

Dikisahkan dalam rangka memperingati 11 tahun wafatnya ayahanda H. Abdul Latif Djaekun

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SURAT UNTUK PU

KHOUL

Pancasila