Mengenang Sang Arjuna

 


MENGENANG SANG ARJUNA

Lihatlah mata itu, yang tatapanya tidak lagi tajam, tapi saat ini akan selalu menangis  melihat anak keturunannya yang berprilaku menentang norma susila maupun norma agama; sesungguhnya mereka masih mampu memandang, karena sekatlah yang membatasi penglihatan, sehingga kita tidak mampu melihat mereka.

Mereka sudah berada di alam barzah, sebagai batas gerbang menuju alam akherat, mereka sudah bertempat tinggal diperbatasan antara alam dunia dan akherat; andai saja mereka diperkenankan bercerita, pasti akan menyampaikan semua kejadian yang menimpa orang disekelilingnya, bercerita bahwa di alam yang ditempati sekarang sudah ada balasan amal perbuatan selama di dunia.

Sekarang fokuskan pandangan pada wajahnya, akan nampak mulut yang seolah terkunci rapat, sedikitpun tanpa ada celah, pertanda bahwa mereka sama sekali tidak mau menuturkan kata, padahal kami rindu senyum lepas hingga giginya kelihatan disela mulut, kami ingin melihat mulut itu bergerak, sampai kumis tipisnya yang berubah warna itu terangkat.

Mulut itu sudah benar-benar terkunci, padahal dulu selalu menyampikan _petuah_ pada semua pihak, memberikan semangat hidup pada yang membutuhkan, khususnya generasi penerusnya yang diharapkan menjadi lebih baik dengan berperilaku sesuai ajaran islami; kamipun juga masih sangat butuh arahan-arahanya, untuk menjalani hidup dan kehidupan yang penuh tantangan zaman, kami butuh cerita pengalaman hidup, dalam mengukir sejarah di masa depan.

Tatap erat kembali wajah itu, rambutnya telah berubah warna, kulitnya yang dulu kencang, berubah keriput sebagai bukti perjuangan memenuhi semua kebutuhan keluarganya, tanpa mengeluh apalagi mengenal lelah, melupakan waktu bahkan harga diri, asal kebutuhan anak-anaknya tercukupi. Tapi, apa yang pernah kita persembahkan pada beliau? Apakah kita sudah berbakti? Sudahkah kita berperilaku sesuai keinginannya? Rasanya belum, sedikitpun belum,  meminta maaf saja hanya ketika lebaran, itupun jika sempat.

Mari kita bayangkan ketika beliau masih kecil, saling asah saling asuh, bermain seadanya, karung goni menjadi pakaian mereka, tanpa buku sebagai alat bantu belajar, hanya _sabak_ (papan tulis kecil yang ditenteng pulang pergi sekolah) satu-satunya alat tulis yang dimiliki, belum lagi perjalanan dari rumah ke sekolah yang sangat jauh, tanpa ada alat tranportasi apapun, sebagai gambaran tekad mereka yang sangat kuat dalam menimba ilmu pengetahuan.

Saat ini, kita hanya bisa mengenang keperkasaannya, hanya mampu bertengadah pada yang esa, semoga beliau diampuni semua dosa dan diterima semua amalnya, kita hanya mampu memohon semoga beliau ditempatkan terbaik di sisi.Nya, di Surga.Nya.

Semoga. Aamiin.

Bojonegoro, 14 Mei 2022

Moch. Syaechu Nasirudin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SURAT UNTUK PU

KHOUL

Pancasila